Kamis, 03 September 2009

AL QUR'AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN DALAM AGAMA ISLAM

PENDAHULUAN

Penulis merasa terpanggil untuk membuat makalah khusus yang menegaskan bahwa Allah menghendaki Al Qur’an sebagai satu-satunya pedoman dalam islam. Meskipun sudah disinggung dalam beberapa makalah dalam blog ini, makalah yang menegaskan hal ini tampaknya perlu dibuat untuk menghindari kebingungan masyarakat. Kebingungan itu sering tercermin pada komentar sejumlah orang di internet berkaitan dengan pertentangan antara isi kitab hadis dan Al Qur’an. Al Qur’an terjemahan yang digunakan untuk membahas adalah versi Dep. Agama RI dalam program komputer Al Qur’an Digital versi 2.1.


AL QUR’AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN DALAM ISLAM

Allah menjelaskan bahwa hanya Al Qur’an dan kitab sebelumnya saja yang wajib diimani oleh orang bertaqwa (2:4). Ayat 2:4 adalah kelanjutan dari ayat 2:2.


2:2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,


2:3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.


2:4. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.


Jadi, salah satu kriteria orang bertaqwa adalah beriman kepada Al Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya. Kemudian, Al Qur’an bersifat membenarkan kitab-kitab sebelumnya (10:37) sehingga beriman kepada Al Qur’an saja sudah cukup.


10:37. Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.


Ayat 2:4 harus dipandang sebagai petunjuk yang wajib dijalankan. Dalam ayat itu, Allah hanya memerintahkan kita untuk beriman kepada Al Qur’an saja. Dengan kata lain, orang bertaqwa adalah orang yang beriman kepada Al Qur’an saja.


Meskipun uraian di atas sudah cukup untuk dijadikan pegangan bahwa Al Qur’an adalah satu-satunya pedoman dalam islam, ada baiknya dilakukan pembahasan lebih lanjut agar menjadi lebih jelas. Dalam Al Qur’an, Allah dengan sangat jelas memerintahkan kepada manusia supaya menjadikan kitab Allah sebagai alat untuk memutuskan perkara yang terjadi di antara manusia. Perintah seperti itu diturunkan pada jaman Nabi Musa (5:44), Nabi Isa (5:47), dan Nabi Muhammad (5:48 dan 5:49). Tampak di sini bahwa semua informasi itu ada dalam satu surat, yaitu Al Maa’idah. Ini menunjukkan penegasan Allah tentang penggunaan kitab Allah sebagai pedoman dalam pemutusan suatu perkara di antara manusia.


5:44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.


5:47. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.


5:48. Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,


5:49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.


Perintah penggunaan kitab Allah sebagai pedoman dalam memutuskan perkara di antara manusia juga dijumpai dalam 4:105.


4:105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,


Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Al Qur’an merupakan satu-satunya pedoman dalam islam. Untuk menjelaskannya, kita perlu membahas tentang kata perkara. Perkara pada dasarnya adalah masalah. Masalah dapat dinyatakan dengan pertanyaan. Pertanyaan dapat diajukan oleh seseorang atau beberapa orang yang terlibat dalam suatu masalah. Pertanyaan membutuhkan jawaban yang benar. Jawaban yang benar ada di Al Qur’an. Atau, sesuatu yang sesuai dengan Al Qur’an adalah benar. Demikanlah kurang lebih alur pikirnya.


Jika kita ingin menanyakan sesuatu tentang agama, kitab yang diperintahkan untuk dijadikan pedoman untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah Al Qur’an. Selain itu, aturan perundang-undangan dalam suatu negara juga harus sesuai dengan Al Qur’an sehingga keputusan suatu perkara yang dihasilkan secara tidak langsung sudah dibuat berdasarkan Al Qur’an.


Penulis ingin menjelaskan lebih lanjut tentang hal di atas dengan contoh. Misalnya, ada dua orang yang berbeda pendapat tentang waktu shalat. Bagaimana cara memutuskan perkara tersebut? Menurut Allah, kita wajib hanya menggunakan Al Qur’an saja sebagai pedoman untuk memutuskan perkara itu. Jika kita menggunakan kitab hadis atau kitab selain Al Qur’an lainnya, kita akan melanggar perintah Allah. Sekali lagi, kita wajib hanya menggunakan Al Qur’an saja dalam memutuskan perkara tersebut. Caranya, kita mengaji Al Qur’an tentang waktu shalat. Dalam khasus contoh ini, waktu shalat yang sesuai dengan yang ada dalam Al Qur’an adalah yang benar.


Alinea di atas menunjukkan bahwa semua pertanyaan masalah agama harus dijawab dengan Al Qur’an saja, sekali lagi, hanya Al Qur’an saja. Pertanyaan tentang cara masuk islam, cara berpuasa, cara shalat, cara berjihad, cara berwudlu, waktu shalat, cara bersedekah, cara masuk surga, nama malaikat, keharaman, cara berpakaian, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya wajib dijawab berdasarkan Al Qur’an saja. Oleh karena itu, menurut Allah, satu-satunya pedoman dalam islam adalah Al Qur’an.


Sebagai tambahan, dalam Al Qur’an diceritakan bahwa orang yang tidak beriman kepada Al Qur’an karena disesatkan syaitan akan menyesal di akhirat (25:29) dan Nabi Muhammad akan mengatakan bahwa mereka dahulu telah mengabaikan Al Qur’an (25:30). Kedua ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad mengingatkan agar kaumnya hanya mengimani Al Qur’an saja.


25:29. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.


25:30. Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan."


KHARAKTERISTIK AL QUR’AN SEBAGAI SATU-SATUNYA PEDOMAN

Dalam 12:111 Allah menjelaskan bahwa Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.


12:111. Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.


Selain itu, Al Qur’an adalah benar dan adil, sempurna, rapi, rinci penjelasannya, jelas ayatnya, dan tidak meragukan (6:115; 11:1; 2:99; dan 2:2). Tidak ada yang bisa merubah kalimat-Nya dan Allah akan selalu memelihara-Nya (6:115 dan 15;9).


6:115. Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.


11:1. Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,


2:99. Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.


2:2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,


15:9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya


Allah juga sudah memasukkan segala sesuatu yang harus dimasukkan kedalam Al Qur’an (6:38).


6:38. Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.


Dapat disampaikan di sini bahwa Al Qur’an benar-benar kitab yang dijadikan sebagai pedoman dalam islam.


KITAB HADIS BUKAN PEDOMAN DALAM ISLAM

Kitab hadis diyakini sebagian besar orang islam sebagai pedoman kedua setelah Al Qur’an. Alasan mereka yang sederhana adalah bahwa beriman kepada Al Qur’an adalah implementasi ketaatan kepada Allah sedangkan beriman kepada kitab hadis adalah sebagai implementasi ketaatan kepada Rasul. Benarkah demikian? Di sini, akan diuraikan bahwa penggunaan kitab hadis tidak didukung oleh ayat-ayat Al Qur’an.


Kekeliruan Persepsi tentang Taat Kepada Rasul

Perintah agar taat kepada Rasul Allah ada di 4:80.


4:80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.


Ayat 4:80 di atas memang menjelaskan bahwa kita wajib taat kepada Rasul. Setiap orang akan membenarkan bahwa kita semua wajib taat kepada Rasul Allah. Namun, kebanyakan orang beranggapan bahwa percaya atau beriman kepada kitab hadis adalah sebagai implementasi perintah taat kepada rasul. Di sinilah persoalannya.


Dalam kitab hadis memang diceritakan tentang perkataan dan perbuatan Nabi. Kalau kita membacanya, kita merasa seolah-olah yang berkata-kata atau yang berbuat dalam kitab itu adalah seperti Nabi yang sebenarnya. Banyak orang lupa bahwa semua isi kitab hadis ditentukan oleh penulisnya. Banyak yang lupa bahwa untuk meyakini kebenaran kitab hadis kita harus percaya kepada penulisnya. Adakah perintah Allah yang mengatakan bahwa kita harus percaya kepada penulis kitab hadis? Tidak ada! Yang ada adalah perintah untuk beriman kepada Rasul Allah (64:8). Taat kepada Rasul Allah berarti kita beriman kepada Rasul Allah. Oleh karena penulis kitab hadis adalah bukan Rasul Allah, kita tidak boleh percaya kepada penulis kitab hadis dan kitab yang ditulisnya.


64:8. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.


Nabi Muhammad tidak tahu-menahu tentang penulisan kitab hadis tersebut. Nabi juga tidak pernah membaca atau meng-edit kitab hadis. Semua isi kitab hadis bukan tanggungjawab Nabi Muhammad. Oleh karena itu, kita tidak boleh mempercayai kitab hadis.


Ayat 4:80 tidak dapat digunakan sebagai dasar penggunaan kitab hadis. Justru, ayat 4:80 merupakan dasar untuk melarang penggunaan kitab hadis karena kita hanya diperintahkan agar taat kepada Rasul Allah, bukan taat kepada penulis kitab hadis. Yang terjadi sekarang ini adalah bahwa banyak orang merasa taat kepada Rasul tetapi yang terjadi sesungguhnya adalah taat kepada penulis kitab hadis.


Selain itu, dalam 4:80 juga disebutkan bahwa taat kepada Rasul Allah pada dasarnya sama dengan taat kepada Allah. Artinya, ajaran Allah dan ajaran Rasul-Nya adalah sama persis yaitu berupa wahyu Allah yang ada dalam Al Qur’an. Ini menegaskan bahwa Rasul Allah tidak membuat ajaran agama sendiri. Jadi, ketaatan kepada Allah diimplementasikan dengan menjalankan ajaran Allah dalam Al Qur’an. Demikian juga, ketaatan kepada Nabi Muhammad diimplementasikan dengan menjalankan ajaran Allah dalam Al Qur’an.


Pengutipan Ayat Yang Tidak Lengkap

Ada kutipan ayat Al Qur’an yang dikutip secara tidak utuh dan dijadikan sebagai dalil penggunaan kitab hadis oleh sekelompok orang. Kutipan secara tidak lengkap yang dimaksud adalah kutipan ayat 59:7 yaitu :


Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.


Berdasarkan kutipan tidak lengkap inilah mereka beranggapan bahwa semua yang diberikan diartikan sebagai semua hal yang diberikan Nabi sedangkan yang dilarangnya diartikan sebagai semua hal yang dilarang Nabi.


Padahal, ayat 59:7 yang utuh menerangkan tentang pembagian harta rampasan.


59:7. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.


Seharusnya, Apa yang diberikan Rasul kepadamu diartikan sebagai harta rampasan yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Di sisi lain, Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah seharusnya diartikan sebagai Dan harta rampasan yang Rasul melarang mengambilnya, maka tinggalkanlah. Jadi, pengutipan ayat 59:7 secara tidak lengkap tersebut telah membelokkan arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, ayat 59:7 bukan pendukung penggunaan kitab hadis sebagai pedoman kedua dalam beragama islam.


Seharusnya pengutipan ayat Al Qur’an dilakukan secara lengkap agar penafsirannya menjadi benar. Dan perlu diingat bahwa pengutipan secara tidak lengkap dengan maksud untuk menyembunyikan keterangan-keterangan dan petunjuk dalam Al Kitab adalah dosa dan pelakunya dila’nati Allah dan semua yang dapat mela’nati (2:159).


2:159. Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati,


Keteladanan

Keteladanan Nabi Muhammad disebutkan dalam 33:21.


33:21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.


Keteladanan dalam ayat tersebut tidak boleh diartikan bahwa Allah memberikan ajaran atau petunjuk kepada manusia dengan metode keteladanan. Kita tidak boleh beranggapan bahwa semua perbuatan dan perkataan Nabi adalah ajaran Allah. Jika benar demikian, Nabi tentu tidak pernah berbuat kesalahan. Akan tetapi, Nabi adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan termasuk dalam hal agama. Dalam Al Qur’an, Nabi pernah ditegur Allah karena melakukan kesalahan dalam beragama sebanyak dua kali. Kesalahan pertama adalah ketika mengharamkan yang halal (66:1).


66:1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Kesalahan kedua adalah ketika mengabaikan orang buta yang ingin membersihkan dirinya dan mendapatkan pengajaran dari Nabi (80:1 sampai 80:11).


80:1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,


80:2. karena telah datang seorang buta kepadanya


80:3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),


80:4. atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?


80:5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup


80:6. maka kamu melayaninya.


80:7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).


80:8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),


80:9. sedang ia takut kepada (Allah),


80:10. maka kamu mengabaikannya.


80:11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,


Nabi juga pernah bertaubat atas dosa yang telah dilakukan dan Allah menerima taubat Nabi tersebut (9:117).


9:117. Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,


Kata teladan (contoh) dalam ayat tadi bermakna bahwa Allah memerintahkan kita untuk mencontoh Nabi sebagai manusia yang taat dalam mengamalkan ajaran Allah. Semua ajaran Allah tertulis dalam Al Qur’an. Nabi Muhammad dan umatnya mempunyai pedoman yang sama untuk diamalkan yaitu Al Qur’an. Keteladanan yang dimaksud adalah dalam hal sikap untuk selalu mengamalkan ajaran Allah dalam kehidupan. Nabi Muhammad merupakan manusia yang wajib dicontoh dalam pengamalan ajaran Allah dalam Al Qur’an.


Semasa Nabi masih hidup, orang di sekitar Nabi dapat berinteraksi dengan Nabi secara langsung sehingga mereka dapat mencontoh perilaku Nabi. Pada saat itu Al Qur’an masih dalam proses penurunan sehingga dalam mempelajari Al Qur’an orang masih sangat tergantung pada Nabi Muhammad. Oleh karena itu, keteladanan Nabi pada saat itu sangat dibutuhkan.


Untuk kondisi sekarang, kita dapat mencontoh Nabi dengan cara mengamalkan ajaran Allah dalam Al Qur’an. Semua yang dilakukan Nabi berpedoman pada Al Qur’an sehingga kalau kita mengamalkan Al Qur’an, kita dapat menjadi orang yang berperilaku seperti Nabi dahulu. Pengamalan ajaran Allah dalam Al Qur’an adalah bentuk nyata orang sekarang dalam meneladani Nabi Muhammad. Jadi, ayat 33:21 bukan pendukung penggunaan kitab hadis.


Selain itu, makna teladan tersebut adalah bahwa Nabi Muhammad pasti dapat ditiru perbuatannya. Yang bisa dilakukan Nabi, pasti bisa dilakukan manusia lainnya. Tidak mungkin Allah menunjuk teladan yang tidak bisa ditiru oleh manusia lainnya. Tambahan, ayat 33:21 juga menegaskan bahwa kita memang harus beriman pada Al Qur’an saja seperti yang dilakukan Nabi Muhammad sebagai manusia teladan bagi kita.


Wahyu Allah

Ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa semua kata-kata yang keluar dari mulut Nabi Muhammad adalah wahyu dari Allah. Landasasannya adalah ayat 53:3 dan 53:4.


53:3. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.


53:4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).


Atas dasar itu mereka beranggapan bahwa perkataan Nabi yang tertulis dalam kitab hadis adalah merupakan wahyu Allah. Kata Al Qur’an dalam tanda kurung dalam terjemahan di atas memang hanyalah interpretasi penerjemah. Apabila Al Qur’an kita hilangkan, interpretasinya tampak seperti membenarkan anggapan tersebut. Coba kita perhatikan terjemahan ayat itu setelah Al Qur’an dihilangkan.


53:3. dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.


53:4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).


Akan tetapi perlu diingat bahwa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah Al Qur’an (42:7). Tidak ada wahyu Allah yang diterima Nabi yang tidak ditulis dalam Al Qur’an.


42:7. Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.


Nabi pasti menyampaikan semua wahyu yang diterimanya kepada seluruh manusia. Nabi Muhammad mengetahui bahwa orang yang meyembunyikan wahyu dari Allah akan mendapat la’nat Allah dan semua makhluk yang dapat melaknatinya (2:159).


2:159. Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati,


Orang yang beranggapan bahwa ada wahyu Allah yang tidak ditulis dalam Al Qur’an secara tidak langsung telah menuduh Nabi Muhammad telah menyembunyikan wahyu Allah yang diterimanya. Orang itu juga secara tidak langsung telah menilai Nabi Muhammad tidak bisa menjalankan tugas sebagai Rasul Allah karena ada wahyu yang tidak ditulis dalam Al Qur’an.


Jelaslah bahwa ucapan Nabi dalam 53:3 dan 53:4 adalah wahyu berupa ayat-ayat Al Qur’an yang diterimanya. Jadi, ayat 53:3 dan 53:4 bukan merupakan pendukung penggunaan kitab hadis.


Al Hikmah dan As sunnah

As sunnah adalah semua informasi tentang Nabi Muhammad yang mencakup perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, dan perjalanan hidup selama hidupnya. Di sisi lain, hadis adalah informasi tentang Nabi Muhammad yang mencakup perkataan, perbuatan, dan taqrir. Yang disebut dalam hadis pasti merupakan as sunnah sedangkan yang disebut dalam as sunnah belum tentu hadis. Pengertian as sunnah dan hadis tersebut diambil dari makalah dalam http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/20.


Dalam Al Qur’an, kata as sunnah muncul dalam Al Qur’an terjemahan versi Depag. RI. Contoh ayat terjemahan yang menyebutkan as sunnah yaitu 2:129.


2:129. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.


Penyebutan as sunnah dalam kurung di situ adalah hasil penafsiran penerjemah. Penerjemah tampaknya dipengaruhi oleh paham tertentu sehingga menambahkan as sunnah dalam kurung tersebut ke Al Qur’an terjemahan. Ayat-ayat lain yang diterjemahkan sedemikian rupa sehingga paham penggunaan as sunnah sebagai pedoman dapat tertampung dalam Al Qur’an terjemahan adalah 33:34; 2:231; 2:269; 62:2; dan 3:164.


Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah : ”Benarkah yang dimaksud hikmah oleh Allah dalam Al Qur’an adalah as sunnah?” Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu membahas lebih dahulu tentang pengertian hikmah menurut Al Qur’an. Ayat-ayat yang menjelaskan arti hikmah adalah 10:1; 36:2; 43:4; dan 3:58 berikut ini.


10:1. Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.


36:2. Demi Al Quran yang penuh hikmah,


43:4. Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.


3:58. Demikianlah (kisah 'Isa), Kami membacakannya kepada kamu sebagian dari bukti-bukti (kerasulannya) dan (membacakan) Al Quran yang penuh hikmah.


Berdasarkan ayat-ayat di atas, Al Qur’an mengandung banyak hikmah. Dengan kata lain, hikmah adalah isi Al Qur’an. Al Qur’an dapat dipandang sebagai kitab tetapi dapat dipandang sebagai hikmah. Sebagai kitab, Al Qur’an adalah tulisan-tulisan sebagai perwujudan wahyu Allah yang dapat dibaca dan didengarkan jika dibaca dengan suara. Sebagai hikmah, Al Qur’an adalah ajaran-ajaran Allah yang dapat dipikirkan dengan akal dan dirasakan dengan hati.


Apakah benar bahwa hikmah yang dimaksud adalah ajaran Allah? Jawabannya ada pada surat 17. Ayat 17:39 menerangkan bahwa Allah telah menunjukkan sebagian hikmah dalam Al Qur’an.


17:39. Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).


Seperti apakah sebagian hikmah yang dimaksud? Jawabannya dijumpai dalam surat 17 sebelum ayat 17:39. Beberapa ayat yang berisi contoh sebagian hikmah secara berturut-turut adalah 17:34; 17:35;17:36:17:37; dan 17:38.


17:34. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.


17:35. Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.


17:36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.


17:37. Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.


17:38. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.


Dari surat 17:34 sampai 17:38 dapat kita ketahui bahwa semua ayat tersebut berisi ajaran Allah yaitu perintah dan larangan Allah. Dan Allah menegaskan bahwa semua itu hanyalah sebagian hikmah dari wahyu yang diterima Nabi atau sebagian dari Al Qur’an. Jadi, hikmah yang dimaksudkan dalam Al Qur’an adalah ajaran-ajaran Allah.


Bukti lain yang menguatkan bahwa hikmah adalah ajaran Allah adalah ayat 54:4 dan 54:5 berikut ini.


54:4. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran).


54:5. Itulah suatu hikmah yang sempurna maka peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka).


Dalam ayat 54:4 dan 54:5 tampak bahwa kisah-kisah yang terdahulu merupakan suatu hikmah atau ajaran-ajaran Allah yang dapat mencegah manusia dari kekafiran.


Dapat disimpulkan di sini bahwa hikmah adalah ajaran-ajaran Allah yang ada dalam Al Qur’an. Dengan demikian, Nabi diberi kitab berupa Al Qur’an yang bentuk nyatanya adalah tulisan-tulisan dan diberi hikmah yang bentuk nyatanya adalah ajaran-ajaran Allah.


Namun, pengertian hikmah tersebut telah disalahartikan menjadi sama dengan sunnah Nabi atau as sunnah. Penyalahartian ini juga terlihat pada kata-kata dalam kurung berbunyi ”(sunnah nabimu”) dalam ayat 33:34 menurut Al Qur’an terjemahan versi Departemen Agama RI.


33:34. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.


Padahal, jika ayat 33:34 dibaca dengan pikiran yang jernih dan netral, pengertiannya sangat jelas. Yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah adalah tulisan ayat dalam Al Qur’an karena yang dibacakan pasti berbentuk tulisan atau kitab. Hikmah adalah isi ajaran-ajaran Allah yang terkandung di dalamnya.


Oleh karena itu, penerjemahan Al Qur’an yang menyamakan Al Hikmah sama dengan as sunnah adalah keliru. Jadi, penggunaan as sunnah sebagai pedoman dalam islam tidak didukung oleh ayat-ayat Al Qur’an.


Yang Menjelaskan

Ternyata, banyak cara yang dibuat oleh orang-orang untuk membenarkan tindakan menggunakan kitab hadis. Mereka berargumen bahwa Nabi Muhammad diberi tugas untuk menjelaskan Al Qur’an. Argumen mereka berdasarkan pada ayat-ayat Al Qur’an terjemahan berikut ini (15:89; 46:9; dan 67:26).


15:89. Dan katakanlah: "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan."


46:9. Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."


67:26. Katakanlah: "Sesungguhnya ilmu (tentang hari kiamat itu) hanya pada sisi Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."


Ayat-ayat terjemahan tersebut menumbuhkan kesan bahwa Nabi Muhammad seolah-olah adalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan sesuatu. Oleh sejumlah orang, sesuatu yang dimaksud adalah Al Qur’an dan yang dianggap sebagai penjelasannya adalah hadis. Atas dasar pemikiran seperti tersebut, mereka mengatakan bahwa penggunaan kitab hadis sebagai pedoman dalam islam didukung oleh ayat-ayat Al Qur’an.


Benarkah anggapan mereka tersebut? Untuk menjawabnya, penulis akan membandingkannya dengan Al Qur’an terjemahan bahasa Inggris per kata versi Dr. Shehnaz Shaikh dan Ms. Kausar Khatri. Berikut ini adalah terjemahan ayat-ayat tersebut.


15:89. And say, “Indeed, I am a clear warner.”


46:9. Say, “I am not the first of the Messengers nor do I know what will be done with me or with you. I only follow that which is revealed to me, and I am not but a clear warner.”


67:26. Say, “The knowledge is only with Allah, and I am only a clear warner.”


Dalam terjemahan versi bahasa Inggris tersebut, Nabi Muhammad adalah seorang pemberi peringatan yang jelas (a clear warner). Yang jelas di sini berarti yang nyata atau yang tidak perlu diragukan lagi. Jadi, Nabi Muhammad bukan pemberi peringatan yang menjelaskan melainkan pemberi peringatan yang jelas. Dengan demikian, terjemahan versi Dep. Agama RI adalah keliru sehingga tidak dapat dijadikan dasar penggunaan kitab hadis.


Hukum Rasul

Dalam terjemahan 4:61 versi Dep. Agama RI terdapat istilah hukum rasul. Istilah terebut perlu dicek kebenarannya karena istilah ini berimplikasi bahwa Rasul Allah diberi wewenang untuk membuat hukum dalam islam. Selanjutnya, orang akan menganggap bahwa hukum rasul yang dimaksud adalah berupa kitab hadis.


4:61. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.


Untuk mengecek kebenaran terjemahan di atas, Al Qur’an terjemahan bahasa Inggris per kata versi Dr. Shehnaz Shaikh dan Ms. Kausar Khatri digunakan. Hasilnya adalah sbb.


4:61. And when it is said to them, “Come to what Allah has revealed and to the Messenger,” you see the hypocrites turning away from you in aversion. (Dan ketika dikatakan kepada mereka, “Mendekatlah ke yang Allah telah wahyukan dan ke Rasul Allah,” kamu lihat orang-orang munafik menghindar dari kamu dalam keengganan.)


Terjemahan di atas menerangkan bahwa orang-orang munafik diminta untuk mendekat ke wahyu Allah dan mendekat ke Rasul Allah tetapi orang-orang munafik tersebut tidak bersedia dengan cara menghindari Rasul Allah dengan perasaan tidak suka. Terjemahan versi bahasa Inggris tersebut menunjukkan bahwa tidak ada istilah hukum rasul. Jadi, ayat 4:61 tidak dapat dijadikan dalil penggunaan kitab hadis.


PESAING AL QUR’AN

Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa Al Qur’an mempunyai pesaing. Pesaing utamanya adalah kitab hadis. Gara-gara kitab hadis, waktu yang seharusnya disisihkan untuk mengaji Al Qur’an menjadi berkurang. Selain itu, orang akan beranggapan bahwa mempelajari kitab hadis sama dengan mempelajari Al Qur’an. Tidak sedikit ceramah agama islam yang lebih banyak mengutip isi kitab hadis dibanding Al Qur’an. Bahkan, ada sejumlah orang yang lebih percaya pada kitab hadis daripada Al Qur’an. Contohnya, mereka percaya pada hadis yang mengatakan bahwa bacaan basmalah dalam Al Fatihah bukan bagian dari Al Qur’an meskipun tertulis dengan jelas bahwa bacaan basmalah merupakan ayat pertama Al Fatihah. Secara tidak langsung, penulis hadis telah dijadikan pesaing Nabi Muhammad.


Pesaing kedua adalah para ahli agama yang cenderung tidak mendorong masyarakat untuk mengaji Al Qur’an yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Seolah-olah mereka mengatakan bahwa masyarakat cukup bertanya atau belajar kepada mereka dan tidak perlu membaca Al Qur’an sendiri. Seolah-olah mereka mengatakan bahwa Al Qur’an bukan bacaan sembarang orang sehingga hanya mereka saja yang dapat menguasai Al Qur’an. Seolah-olah mereka mengatakan bahwa bertanya kepada mereka sama saja dengan membaca Al Qur’an. Bahkan, kadang-kadang ada yang mengeluarkan fatwa yang hanya menjadi wewenang Allah. Kesan yang timbul dari penampilan, sikap, dan cara menjawab adalah bahwa mereka seolah-olah dapat dijadikan pengganti Al Qur’an. Mengapa masyarakat tidak didorong untuk membaca Al Qur’an sendiri? Bukankah Allah telah memerintahkan untuk membaca sejak ayat pertama diturunkan (96:1)?


96:1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,


Di samping itu, kita semua sudah mengetahui bahwa Allah tidak berkenan jika disekutukan. Apakah orang tidak takut apabila Allah marah karena Al Qur’an telah disaingi? Yang jelas, Allah tidak berkenan jika Al Qur’an dianggap remeh (56:81).


56:81. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Quran ini?


PENUTUP

Al Qur’an adalah satu-satunya pedoman dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad. Masyarakat yang ingin mengetahui atau mempelajari islam harus mempelajari satu kitab saja, yaitu Al Qur’an.