Rabu, 19 Desember 2018

10 TAHUN UMUR BLOG

Pada bulan Desember 2018, blog ini sudah berumur 10 tahun. Sudah banyak makalah yang saya buat. Di satu sisi, ini merupakan sesuatu yang perlu disyukuri. Di sisi yang lain, saya merasa itu menjadi beban karena banyak revisi yang masih perlu dilakukan.

Pada saat yang akan datang, saya ingin membuat makalah dengan menggunakan Al Qur’an terjemahan sendiri. Oleh sebab itu, saya perlu menerjemahkan Al Qur’an sendiri lebih dahulu. Akhir-akhir ini, saya sedang belajar bahasa Arab secara mandiri. Buku-buku dan referensi lainnya diperoleh dari internet dengan cara men-download-nya. Tujuannya adalah agar saya bisa menerjemahkan Al Qur’an sendiri. Penerjemahan Al Qur’an membutuhkan waktu yang panjang dan tenaga yang banyak. Saya sendiri juga tidak tahu bahwa pekerjaan tersebut bisa selesai atau tidak.

Kadang-kadang, saya bertanya dalam hati. Mengapa harus menerjemahkan Al Qur’an sendiri? Apakah saya punya kapasitas atau kompetensi untuk melakukannya? Menurut saya, Al Qur’an terjemahan yang sudah tersedia sekarang masih terdapat masalah. Misalnya, kata “kutiba” dalam ayat 2:183 diterjemahkan menjadi “diwajibkan” dalam Al Qur’an terjemahan versi Dep. Agama RI. Penerjemahan seperti itu jelas salah. Kesalahan tersebut dapat diketahui dengan mudah oleh orang yang sedang belajar bahasa Arab. Kata berakar kata k-t-b digunakan dalam pelajaran tata bahasa Arab untuk menjelaskan tentang kata kerja dalam bahasa Arab. Dijelaskan dalam pelajaran tersebut bahwa “kutiba” adalah kata kerja pasif bentuk I perfect berakar kata k-t-b yang berarti “Ia telah ditulis” (It was written). Jadi, orang yang baru belajar bahasa Arab pun pasti sudah tahu bahwa “kutiba” berarti “Ia telah ditulis”. Kata “diwajibkan” dan “ditulis” mempunyai arti yang sangat berbeda. Saya juga menjumpai beberapa hasil terjemahan lain yang menimbulkan keragu-raguan. Itulah sebabnya saya berencana menerjemahkan Al Qur’an sendiri.

Berkaitan dengan kapasitas atau kompetensi, saya rasa itu bukan masalah karena hasil terjemahan tersebut adalah untuk saya sendiri. Jika saya mampu menyelesaikannya, mungkin akan saya publikasikan untuk orang yang ingin mengetahuinya. Bagi saya, memahami Al Qur’an adalah suatu kewajiban dan penerjemahan Al Qur’an adalah suatu cara untuk menunaikan kewajiban tersebut.

Pada bulan-bulan mendatang, saya akan menggunakan waktu saya lebih banyak untuk penerjemahan Al Qur’an dan rervisi makalah-makalah yang sudah diterbitkan sebelumnya dalam blog ini. Walaupun demikian, saya mungkin masih membuat makalah baru jika dipandang perlu.

Itulah yang ingin saya sampaikan pada peringatan ulang tahun blog yang ke 10 ini. Terima kasih.

Selasa, 07 Juli 2015

BENANG PUTIH BENANG HITAM

Istilah benang putih dan benang putih terdapat dalam Al Qur’an terjemahan versi Dep. Agama RI. Kutipan ayat yang menyebutkannya adalah sebagai berikut.

2:187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (versi Dep. Agama RI)

Dijelaskan dalam terjemahan di atas bahwa fajar adalah ketika terang bagi manusia benang putih dari benang hitam. Artinya, fajar didefinisikan sebagai waktu ketika benang putih dari benang hitam tampak terang bagi manusia. Kata yaitu dalam frasa terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar menunjukkan bahwa frasa tersebut dianggap sebagai sebuah definisi. Kemudian, orang akan berpersepsi bahwa puasa dimulai sejak fajar. Benarkah terjemahan tersebut?

Marilah kita jawab pertanyaan tersebut dengan hati-hati. Pertama, kita memperhatikan kata hingga. Kata tersebut menerangkan bahwa sesudah kata hingga ada sesuatu yang berubah atau variabel. Variabel tersebut bersifat berubah dari waktu ke waktu. Variabel tersebut akan berubah dari waktu ke waktu hingga suatu saat mempunyai sifat yang sama dengan sifat yang dijadikan sebagai tolok ukur atau patokan untuk menentukan suatu batas waktu. Yang dijadikan tolok ukur bersifat konstan atau tidak berubah. Dengan demikian, tolok ukur tersebut adalah suatu konstanta. Dalam ayat terjemahan 2:187 di atas, variabelnya adalah kenampakan benang putih sedangkan konstantanya adalah kenampakan benang hitam. Kenampakan benang putih berubah-ubah tergantung pada intensitas cahaya. Di pihak lain, kenampakan benang hitam tidak tergantung pada intensitas cahaya. Pada saat tanpa intensitas cahaya, benang hitam tampak hitam. Demikian pula, pada saat intensitas cahaya banyak, misalnya keadaan pada jam 12 siang dengan langit yang sangat bersih, benang hitam tampak hitam. Selain itu, kata terang juga perlu dibahas. Kata terang di sini bermakna jelas karena benang putih bukan suatu sumber cahaya seperti lampu.

Sekarang kita coba terapkan terjemahan tersebut ketika berpuasa di bulan Ramadhan. Ketika jam 24 malam, benang putih tidak tampak putih. Benang putih pada saat itu akan tampak berwarna kehitam-hitaman. Warna kehitam-hitaman (tidak hitam sama sekali) tersebut disebabkan oleh intensitas cahaya yang sangat lemah. Ketika bulan purnama yang terangpun, warnanya masih tampak kehitam-hitaman. Ketika sinar matahari mulai tampak walaupun matahari belum tampak, atau seriing disebut fajar terbit, sifat kehitam-hitaman benang putih mulai berkurang secara tidak signifikan. Pada saat fajar terbit, langit masih tampak gelap dan bintang-bintang masih tampak. Pada saat fajar terbit, benang putih masih tampak kehitam-hitaman. Sampai keadaan ini, kita akan coba menerapkan terjemahan 2:187 versi Dep. Agama RI  di atas. Apakah benang putih terang bagi kita dari benang hitam ketika fajar terbit? Apakah benang putih jelas bagi kita dari benang hitam ketika fajar terbit?Tidak!. Pada saat fajar terbit, benang putih tidak tampak seperti benang putih. Pada saat fajar terbit, benang putih masih tampak seperti benang yang kehitam-hitaman. Pada saat fajar terbit, benang putih belum berbeda dengan jelas dari benang hitam. Jadi, terjemahan 2:187 versi Dep. Agama RI di atas adalah salah. Oleh sebab itu, penulis merasa perlu untuk mendapatkan sendiri terjemahan yang benar.

Penulis akan mencoba menerjemahkan sendiri bagian ayat 2:187 yang menerangkan batas waktu masih boleh makan dan minum. Pertama-tama, penulis akan menyajikan transliterasi ayat 2:187. Berikut ini adalah transliterasinya.

002.187 O[h]illa lakum laylata a(l)[ss]iy[a]mi a(l)rrafathu il[a] nis[a]-ikum hunna lib[a]sun lakum waantum lib[a]sun lahunna AAalima All[a]hu annakum kuntum takht[a]noona anfusakum fat[a]ba AAalaykum waAAaf[a] AAankum fa(a)l-[a]na b[a]shiroohunna wa(i)btaghoo m[a] kataba All[a]hu lakum wakuloo wa(i)shraboo [h]att[a] yatabayyana lakumu alkhay[t]u al-abya[d]u mina alkhay[t]i al-aswadi mina alfajri thumma atimmoo a(l)[ss]iy[a]ma il[a] allayli wal[a] tub[a]shiroohunna waantum AA[a]kifoona fee almas[a]jidi tilka [h]udoodu All[a]hi fal[a] taqrabooh[a] ka[tha]lika yubayyinu All[a]hu [a]y[a]tihi li(l)nn[a]si laAAallahum yattaqoon(a). (Text Copied from DivineIslam's Qur'an Viewer software v2.913)

Frasa yang akan diterjemahkan adalah [h]att[a] yatabayyana lakumu alkhay[t]u al-abya[d]u mina alkhay[t]i al-aswadi mina alfajri. Jika disajikan per kata secara vertikal, tampilannya adalah sebagai berikut.

[h]att[a]
yatabayyana
lakumu
alkhay[t]u
al-abya[d]u
 mina
alkhay[t]i
al-aswadi
mina
alfajri

Hasil penerjemahan berdasarkan informasi yang diperoleh dari project root list di http://www.studyquran.co.uk/PRLonline.htm., kamus Al Qur’an The Easy Dictionary of the Qur'an (Compiled By Shaikh AbdulKarim Parekh; Translated By (Late) AbdurRasheed Kampte, Dr. Abdulazeez Abdulrahee, dan Shaikh AbdulGhafoor Parekh), dan kamus Al Qur’an di : http://corpus.quran.com/qurandictionary.jsp?q=byn disajikan berikut ini.

[h]att[a] = hingga
yatabayyana = menjadi jelas
lakumu = bagimu (jamak)
alkhay[t]u = benang
al-abya[d]u = putih
 mina = dari
alkhay[t]i = benang
al-aswadi = hitam
mina = dari
alfajri = fajar

Jika disusun, frasa hasil terjemahan tersebut adalah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar. Perbedaan dengan terjemahan versi Dep. Agama RI adalah pada kata di depan fajar. Dalam terjemahan penulis, di depan kata fajar adalah dari. Dalam terjemahan Dep. Agama RI, di depan kata fajar adalah yaitu. Penerjemahan kata mina menjadi yaitu adalah suatu kesalahan fatal. Pada kata mina di depan alkhay[t]i diterjemahkan dengan benar tetapi pada kata di depan alfajri, mina diterjemahkan secara salah. Apakah ini kesalahan yang tidak disengaja? Rasa-rasanya, sangat kecil kemungkinan kesalahan tersebut terjadi karena tidak disengaja.

Perbedaan yang lain adalah pada kata sesudah kata hingga. Kata sesudah kata hingga dalam terjemahan versi Dep. Agama RI adalah terang sedangkan sesudah kata hingga dalam terjemahan versi penulis adalah menjadi jelas. Menurut kamus Al Qur’an di http://corpus.quran.com/qurandictionary.jsp?q=byn, yatabayyana berarti becomes distinct, yang dalam bahasa Indonesia berarti menjadi jelas.

Sekarang, kita bahas makna frasa hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar. Pertama, frasa hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam adalah bukan definisi fajar. Frasa tersebut menerangkan bahwa ada suatu waktu tertentu dari fajar (sejak dari terbit sampai hilang) yang ditentukan sebagai batas waktu masih boleh makan dan minum. Batas waktu tersebut adalah ketika benang putih tampak jelas oleh kita dari benang hitam.

Untuk menjelaskan makna frasa hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar, perlu dibuat model perbedaan kenampakan benang putih dan benang hitam dari waktu ke waktu. Gambar 1 adalah model yang menjelaskan perbedaan kenampakan benang putih dan benang hitam dari waktu, sejak sebelum fajar sampai matahari terbit. Gambaran perbedaan tersebut hanyalah sebuah model, yang dibuat untuk menyederhanakan cara berpikir kita agar mudah dimengerti. Dengan model itu, kita bisa lebih obyektif dalam memahami makna perbedaan kenampakan benang putih dan benang hitam. Gambaran perbedaan kenampakan benang putih dan benang hitam dari waktu ke waktu yang sebenarnya mungkin dapat diamati dengan suatu teknik fotografi tingkat tinggi.


Gambar 1. Model perbedaan kenampakan benang putih dan benang hitam dari waktu ke waktu.

Gambar di atas menerangkan bahwa kenampakan benang hitam tidak tergantung pada intensitas cahaya. Pada saat gelap, benang hitam tampak hitam. Demikian pula, pada saat terang, benang hitam tampak hitam. Di pihak lain, kenampakan benang putih tergantung pada intensitas cahaya. Pada saat gelap, benang putih tampak hitam, sedangkan pada saat terang, benang putih tampak putih. Dalam kenyataan, keadaan di sekitar kita pada waktu malam tidak tampak gelap 100% karena keberadaan cahaya bulan, bintang, lampu penerangan, dan sumber cahaya lain yang mungkin ada. Oleh sebab itu, kenampakan benang putih di alam terbuka pada waktu malam tidak hitam sama sekali. Artinya, model di atas berasumsi bahwa yang dianggap sebagai sumber cahaya adalah hanya sinar matahari.

Gambar 1 juga memperlihatkan bahwa kenampakan benang putih semakin lama semakin berbeda jelas dengan kenampakan benang hitam. Benang putih tampak jelas oleh kita dari benang hitam pada saat matahari terbit. Pada saat matahari terbit, intensitas cahaya matahari yang diserap oleh benang putih membuat mata mempunyai kesan bahwa benang putih tampak seperti warna aslinya. Dengan demikian, pada saat matahari terbit, benang putih tampak putih dan benang hitam tampak hitam. Pada saat matahari terbit, benang putih sudah tampak jelas dari benang hitam. Oleh sebab itu, kita tidak boleh makan dan minum sesudah matahari terbit. Dengan kalimat lain, kita masih boleh makan dan minum hingga sesaat sebelum matahari terbit. Artinya, puasa dimulai sejak matahari terbit.

Kita bisa mengamalkan pedoman yang dibuat Allah dalam 2:187 untuk menentukan batas waktu orang masih boleh makan dan minum. Caranya, kita menggantungkan seutas benang putih di alam terbuka sejak sebelum fajar sampai matahari terbit. Ketika benang putih sudah tampak putih sempurna menurut kita, makan dan minum dihentikan atau puasa sudah dimulai. Walaupun cara tersebut mungkin belum menghasilkan tingkat ketelitian yang tinggi, batas waktu yang diperoleh dengan cara tersebut dapat dipandang sebagai batas waktu yang aman.

Untuk mendapatkan tingkat ketelitian yang tinggi dan untuk mengatasi problem yang muncul ketika cahaya matahari tidak tampak karena terhalang awan atau penyebab lainya, informasi waktu ketika matahari terbit dibutuhkan. Dengan teknologi sekarang ini, menentukan waktu matahari terbit sudah bukan masalah lagi. Di internet, sudah ada situs yang dapat menyebutkan waktu matahari terbit di tempat tertentu, walaupun masih terbatas hanya di kota-kota besar tertentu. Contohnya adalah di . http://www.timeanddate.com/worldclock/sunrise.html. Walaupun masih hanya terbatas di kota-kota besar tertentu, informasi tersebut dapat dijadikan alat bantu untuk menentukan waktu matahari terbit di daerah yang berdekatan dengan kota besar.

Sebenarnya, frasa hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar bukan seuatu yang sulit untuk dipahami jika kita benar-benar ingin mengamalkannya. Kuncinya adalah pada pemahaman arti fajar. Fajar adalah waktu sejak fajar terbit (sinar matahari mulai tampak) sampai matahari terbit. Dari sini, kita bisa mengerti bahwa fajar bukan waktu ketika fajar terbit. Fajar mempunyai durasi. Fajar dan fajar terbit adalah dua hal yang berbeda. Artinya, batas waktu masih boleh makan dan minum terjadi pada suatu waktu tertentu dalam waktu fajar, bukan pada saat fajar terbit. Oleh sebab itu, dengan menggunakan benang putih kita bisa mengetahui batas waktu masih boleh makan dan minum selama puasa Ramadhan.

Sebelum ditutup, tidak ada salahnya kita meluangkan waktu untuk membahas informasi yang dipercaya oleh sebagian besar orang. Konon ada kitab hadis yang isinya menjelaskan arti benang putih dan benang hitam. Yang ingin membaca kutipan isi kitab hadis tersebut dipersilakan membacanya di http://muslimafiyah.com/maksud-ayat-membedakan-benang-hitam-dan-benang-putih-adalah-kiasan.html. Dijelaskan dalam isi kitab hadis yang pertama bahwa yang dimaksud dalam ayat 2:187 adalah putihnya siang dan hitamnya malam. Di pihak lain, dijelaskan dalam isi kitab hadis yang kedua bahwa yang dimaksud dalam ayat 2:187 adalah siang dan malam. Penulis masih bingung juga dengan kedua isi kitab hadis kedua tersebut. Maksudnya, putih adalah siang atau benang putih adalah siang? Hitam adalah malam atau benang hitam adalah malam? Kita coba jabarkan di sini. Kemungkinan pertama, putih adalah siang dan hitam adalah malam. Dengan demikian, benang putih adalah benang siang dan benang hitam adalah benang siang. Akan tetapi, siang dan malam tidak mempunyai benang dan tidak menyerupai benang. Jadi, kemungkinan pertama tidak terjadi. Oleh sebab itu, kemungkinan kedua adalah yang terjadi, yaitu bahwa benang putih adalah siang dan benang hitam adalah malam. Jadi, isi kitab hadis tersebut menerangkan bahwa benang putih menggambarkan siang dan benang hitam menggambarkan malam.

Sekarang, marilah kita gunakan informasi dalam kitab tersebut untuk membahas frasa hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar. Jika informasi dari kitab hadis tersebut disubstitusikan ke dalam frasa tersebut, hasilnya akan menjadi hingga jelas bagimu siang dari malam dari fajar. Frasa yang dihasilkan tersebut tidak masuk akal karena pada waktu malam, siang tidak ada sehingga tidak ada variabel yang diamati perubahannya. Siang ada setelah malam hilang. Bagaimana jika frasa tersebut diganti dengan hingga jelas bagimu putihnya siang dari hitamnya malam dari fajar. Hasilnya juga tidak masuk akal karena pada waktu malam tidak ada siang. Di samping itu, jika demikian, benang ditafsirkan secara tidak konsisten. Di satu sisi, benang dianggap sebagai siang. Di sisi yang lain, benang dianggap malam. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Benang putih berarti yang mempunyai warna putih adalah benang. Putihnya siang berarti yang mempunyai warna putih adalah siang. Jadi, benang sama dengan siang. Di sisi lain, benang hitam berarti yang mempunyai warna hitam adalah benang. Hitamnya malam berarti yang mempunyai warna hitam adalah malam. Jadi, benang sama dengan malam.

Dari uraian dalam alinea di atas, tampak bahwa yang tertulis dalam ayat 2:187 tersebut bukan merupakan suatu kata-kata kiasan. Anggapan tentang penggunaan kata kiasan justeru menghasilkan frasa yang tidak bisa digunakan untuk mengetahui waktu awal berpuasa dalam suatu hari atau waktu masih boleh makan dan minum. Oleh sebab itu, benang yang dimaksud dalam ayat 2:187 adalah benang yang sudah dikenal orang pada saat itu. Perlu diketahui bahwa benang adalah bahan untuk membuat pakaian. Bukankah orang pada saat itu sudah berpakaian?

Sebagai penutup, Al Qur’an terjemahan ayat 2:187 versi Dep. Agama RI sebaiknya direvisi karena mengandung kesalahan. Benang putih dan benang hitam yang disebutkan dalam 2:187 adalah bukan kata-kata kiasan. Cara mengetahui batas waktu orang masih boleh makan atau batas orang memulai puasa selama bulan Ramadhan dengan mengamati kenampakan benang putih dan benang hitam adalah wajib dijalankan karena itu petunjuk Allah.  Batas waktu masih boleh makan dan minum dalam puasa Ramadhan adalah sesaat sebelum matahari terbit pada waktu fajar. Artinya, puasa dimulai sejak matahari terbit. Apabila terjadi perubahan persepsi pada diri penulis, makalah ini akan direvisi.


Rabu, 22 April 2015

ANDAIKAN MUI MEMBACA MAKALAH INI

Suatu hari, penulis ingin membaca kembali naskah fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) tentang anti hadis yang ada di situs http://mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=36 yang tertera dalam sebuah makalah di blog ini. Ternyata naskah tersebut kini sudah tidak ada lagi atau tidak bisa diakses. Mungkinkah MUI sudah mencabut fatwa tersebut? Ketika dilacak melalui Google dengan kata kunci “mui mencabut fatwa ingkar sunnah” dan mui mencabut fatwa anti hadis”, tidak ada keterangan tentang hal tersebut yang muncul. Selain itu, jika benar-benar sudah dicabut, MUI akan sudah menggelar konferensi pers untuk menyampaikan informasi tentang pencabutan fatwa tersebut karena ini menyangkut masalah yang sangat penting. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa MUI belum mencabut fatwa tersebut.

Penulis kembali ingin memberi tanggapan terhadap fatwa MUI tentang anti hadis dengan sudut pandang agak berbeda dengan yang pernah dibuat sebelumnya. Untungnya, penulis masih dapat mendapatkan kutipan naskah fatwa tentang anti hadis di http://media-Islam.or.id/2007/09/26/fatwa-mui-ingkar-sunnah-sesaat/. Makalah ini akan membahas fatwa MUI tentang anti hadis yang ada dalam kutipan naskah tersebut.  Pada kesempatan ini, penulis ingin berandai-andai seolah-olah MUI membaca makalah ini. Kemudian, penulis menyampaikan beberapa hal yang perlu diketahui oleh MUI.

Ada baiknya disampaikan kutipan keputusan MUI yang terdapat dalam fatwa tersebut. Keputusannya adalah sebagai berikut.

“1. Aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum syari’at Islam, adalah sesat menyesatkan dan berada di luar agama Islam.

2. Kepada rnereka yang secara sadar atau tidak, telah mengikuti aliran tersebut. agar segera bertaubat.

3. Menyerukan kepada ummat Islam untuk tidak terpengaruh dengan aliran yang sesat itu.

4. Mengharapkan kepada para Ulama untuk memberikan bimbingan dan petunjuk bagi mereka yang ingin bertaubat.

5. Meminta dengan sangat kepada pemerintah agar mengambil tindakan tegas berupa larangan terhadap aliran yang tidak mempercayai Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber Syari’at Islam

Tampak dalam fatwa tersebut bahwa MUI beranggapan bahwa aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi sebagai sumber hukum dalam agama Islam adalah sesat, menyesatkan, dan di luar agama Islam. Dengan kalimat lain, orang yang tidak mempercayai kitab hadis dianggap sesat, menyesatkan, dan di luar agama Islam. Sebelum menanggapinya, perlu disampaikan bahwa orang yang tidak percaya pada kitab hadis tersebut mencakup orang yang percaya atau beriman pada Al Qur’an dan orang-orang yang tidak beriman pada Al Qur’an. Makalah ini hanya membahas orang-orang yang tidak beriman pada kitab hadis tetapi beriman pada Al Qur’an. Bagi penulis, fatwa MUI tersebut menyatakan bahwa orang-orang yang hanya beriman pada Al Qur’an saja adalah sesat, menyesatkan, dan bukan termasuk orang beragama Islam.

Benarkah orang yang hanya beriman pada Al Qur’an saja adalah sesat? Ayat-ayat berikut ini menjawab pertanyaan tersebut.

20:123. Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (versi Dep. Agama RI)

2:2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (versi Dep. Agama RI)

Disebutkan secara tegas, terang benderang, dan eksplisit bahwa orang yang mengikuti petunjuk Allah tidak akan sesat (20:123). Petunjuk Allah yang dimaksud dalam kasus ini adalah Al Qur’an (2:2). Dengan demikian, menurut Allah, orang-orang yang hanya berpedoman pada Al Qur’an saja tidak akan sesat.

Perlu diperhatikan bahwa MUI tidak mempertimbangkan 20:123 dan 2:2 sebagai dasar pembuatan fatwa tentang anti hadis tersebut. Di sinilah letak persoalannya. Ayat-ayat Al Qur’an yang digunakan MUI sebagai dasar dalam pembuatan fatwa tersebut hanya 3:31, 3:32, 4:59, 4:65, 4:80, 4:105, 4:150, 4:151, 59:7, dan 16:44. Ayat-ayat yang digunakan MUI tersebut tidak ada satu pun yang menyebut kata “sesat”. Di samping itu, fatwa tersebut hanya berisi daftar ayat terjemahan yang digunakan tanpa disertai penjelasan tentang hubungannya dengan alasan pembuatan keputusan dalam fatwa tersebut. Oleh sebab itu, penulis tidak menanggapi penggunaan ayat-ayat Al Qur’an dalam fatwa tersebut karena tidak disertai penjelasan sama sekali.

Penafsiran MUI tentang ayat-ayat Al Qur’an yang dijadikan dasar pembuatan fatwa, yaitu 3:31, 3:32, 4:59, 4:65, 4:80, 4:105, 4:150, 4:151, 59:7, dan 16:44, dengan demikian bertentangan dengan kandungan ayat 20:123 dan 2:2. Perlu diketahui bahwa tidak mungkin ada pertentangan di antara ayat-ayat dalam Al Qur’an karena Al Qur’an berasal dari Allah (4:82). Dengan demikian, MUI telah melakukan penafsiran secara salah terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang dijadikan dasar untuk membuat fatwa tentang anti hadis. Oleh sebab itu, ayat 20:123 dan 2:2 telah menggugurkan argumen MUI yang menggunakan ayat-ayat Al Qur’an dalam pembuatan fatwa tentang anti hadis.

4:82. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (versi Dep. Agama RI)

MUI juga lupa bahwa orang yang sesat adalah mereka yang mengikuti Iblis (15:39 dan 15:42). Ini berarti MUI melalui fatwa tersebut menyatakan bahwa orang yang berpedoman pada Al Qur’an saja adalah pengikut Iblis. Dengan kalimat lain, MUI menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti petunjuk Allah (Al Qur’an) adalah sama dengan mengikuti Iblis. Artinya, MUI secara tidak langsung menyatakan bahwa petunjuk Allah adalah sama dengan Iblis. Ini adalah kesalahan yang sangat fatal. Hal ini lebih menegaskan lagi bahwa fatwa MUI tentang anti hadis adalah salah.

15:39. Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, (versi Dep. Agama RI)

15:42. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. (versi Dep. Agama RI)

Di samping itu, syaitan mempunyai sifat selalu berusaha menyesatkan manusia dari Al Qur’an (25:29). Artinya, orang yang disesatkan oleh syaitan adalah orang yang tidak berpedoman pada Al Qur’an. Dengan kalimat lain, orang yang berpedoman pada Al Qur’an saja tidak termasuk orang yang disesatkan oleh syaitan. Ini juga membuktikan bahwa fatwa MUI tentang anti hadis adalah salah.

25:29. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. (versi Dep. Agama RI)

Benarkah orang yang berpedoman pada Al Qur’an saja menyesatkan? Sudah dijelaskan di depan bahwa ayat 20:123 dan 2:2 menegaskan bahwa orang yang berpedoman pada Al Qur’an saja tidak akan sesat. Oleh sebab itu, orang yang berpedoman pada Al Qur’an juga tidak akan menyesatkan. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa fatwa MUI tentang anti hadis adalah salah.

Benarkah orang yang berpedoman pada Al Qur’an saja tidak termasuk orang Islam? Yang menyebut Islam sebagai agama adalah Allah (5:3) sehingga orang yang mengikuti petunjuk-Nya berupa Al Qur’an adalah termasuk orang Islam. Jadi, fatwa MUI yang menyatakan bahwa orang yang hanya berpedoman pada Al Qur’an saja bukan orang Islam adalah salah.

5:3. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (versi Dep. Agama RI)

MUI juga telah melakukan kesalahan dalam mengutip Al Qur’an. Dalam kasus ini, MUI mengutip ayat Al Qur’an secara tidak lengkap. Kutipan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Surat al-Hasyr : 7
“apa yang diberikan Rasul kepadarnu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maku tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya “.

8. Surat An Nahi : 44
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.“

Naskah terjemahan kedua ayat tersebut yang lengkap versi Dep. Agama RI adalah sebagai berikut :

59:7. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (versi Dep. Agama RI)

16:44. keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (versi Dep. Agama RI)

Pengutipan ayat Al Qur’an terjemahan secara tidak lengkap tersebut melanggar petunjuk Allah dalam (2:159). Jika dipikir-pikir, apa susahnya mengutip ayat terjemahan secara lengkap? Apakah terlalu panjang? Apakah sulit diketik? Apakah menghabiskan tenaga? Apakah menghabiskan ruang? Oleh sebab itu, penulis menduga ada maksud terselubung di balik itu. Penulis sudah membahas tentang modus pembelokan penafsiran ayat Al Qur’an dengan cara mengutip ayat terjemahan secara tidak lengkap di http://kajiantentangquran.blogspot.com/2009/09/al-quran-sebagai-satu-satunya-pedoman.html dan di http://kajiantentangquran.blogspot.com/2011/11/terjemahan-ayat-al-quran-bermasalah.html.

2:159. Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, (versi Dep. Agama RI)

Penggunaan kitab hadis sebagai dasar pembuatan fatwa tentang anti hadis juga merupakan kesalahan karena yang diperkarakan adalah tentang penggunaan kitab hadis itu sendiri. Di samping itu, penggunaan kitab hadis oleh MUI sebagai dasar pembuatan fatwa merupakan bentuk pelanggaran terhadap ajaran Allah dalam Al Qur’an, yaitu agar memutuskan perkara di antara manusia dengan kitab Allah (5:44, 5:47, 5:48, 5:49, dan 4:105). Perlu diingat bahwa fatwa yang dibuat MUI adalah dalam rangka memutuskan perkara di antara manusia.

5:44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (versi Dep. Agama RI)

5:47. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (versi Dep. Agama RI)

5:48. Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (versi Dep. Agama RI)

5:49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (versi Dep. Agama RI)

4:105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, (versi Dep. Agama RI)

Sebenarnya, yang paling mengetahui orang yang sesat adalah Allah (68:7) sehingga yang boleh menyatakan sesat kepada manusia adalah Allah. Oleh sebab itu, pembuatan fatwa oleh MUI yang menyatakan sesat kepada manusia adalah suatu kesalahan.

68:7. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (versi Dep. Agama RI)

Fatwa MUI juga berisi himbauan agar orang-orang yang hanya beriman kepada Al Qur’an saja bertaubat dan mengikuti aliran mereka, yaitu dengan menggunakan kitab hadis sebagai pedoman. Di sini ada hal yang penting. Perlu diketahui bahwa dalam kasus ini masing-masing pihak akan merasa tidak sesat dan pihak lainnya dianggap sesat. Artinya, yang merasa pendapatnya benar akan berpendapat bahwa pihak yang tidak sependapat adalah sesat. Tentu saja, bagi penulis, yang pendapatnya benar adalah pihak penulis. Oleh sebab itu, menurut penulis, himbauan MUI agar wajib menggunakan kitab hadis sebagai pedoman bisa dipandang sebagai tindakan menyesatkan penulis. Tindakan menyesatkan orang lain seperti ini mirip yang dilakukan segolongan Ahli Kitab ketika ingin menyesatkan Nabi Muhammad (dalam terjemahan disebut dengan “kamu”) (3:69). Dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa para Ahli Kitab tersebut sebenarnya menyesatkan dirinya sendiri tetapi tidak menyadarinya. Artinya, yang terjadi pada segolongan Ahli Kitab dalam 3:69 dapat terjadi pada MUI.

3:69. Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya. (versi Dep. Agama RI)

Himbauan MUI agar pemerintah terlibat dalam masalah ini juga tidak tepat karena masalah keimanan tidak boleh dipaksakan dengan kekuasaan. Perlu diingat bahwa Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya (16:93). Artinya, yang membuat orang menjadi mendapat petunjuk adalah Allah sehingga orang tidak boleh memaksa orang lain agar mengikuti keyakinannya atau agamanya.. Selain itu, masyarakat juga tidak boleh mengikuti suatu keyakinan atau agama hanya karena mengikuti pembesar atau pemimpin. Jangan sampai masyarakat kemudian menyesal seperti orang-orang yang mengikuti pembesar dan pemimpin pada jaman dahulu (33:67).

16:93. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (versi Dep. Agama RI)

33:67. Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (versi Dep. Agama RI)

MUI tentu sudah mengetahui bahwa Allah telah mengajarkan cara menghadapi tuduhan sesat kepada Nabi Muhammad (34:50). Cara ini juga berlaku bagi kita dengan cara merubah frasa “apa yang diwahyukan Tuhan kepadaku” menjadi “petunjuk Allah berupa Al Qur’an”. Oleh sebab itu, jika penulis dituduh sesat maka sesungguhnya penulis sesat atas kemudharatan diri penulis sendiri, dan jika penulis mendapat petunjuk maka itu disebabkan mengikuti petunjuk Allah berupa Al Qur’an.

34:50. Katakanlah: "Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat." (versi Dep. Agama RI)

Sebagai penutup, penulis menghimbau agar MUI mencabut fatwa tentang anti hadis. Ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah (35:28) sehingga tidak akan membuat fatwa yang bertentangan dengan Al Qur’an.

35:28. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (versi Dep. Agama RI)

Jangan sampai terjadi, orang yang mengikuti petunjuk Allah menjadi khawatir dan bersedih hati karena tuduhan sesat yang dibuat MUI, tempat berkumpulnya orang takut kepada Allah. Perlu diingat bahwa Allah telah menjelaskan dalam 2:38 bahwa orang yang mengikuti petunjuk Allah tidak perlu khawatir dan bersedih hati. Sayangnya, hal ini tidak terjadi di Indonesia karena orang yang berpedoman pada Al Qur’an saja mendapat tekanan dan ancaman dari masyarakat akibat fatwa MUI tentang anti hadis.

2:38. Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (versi Dep. Agama RI)

Minggu, 20 Januari 2013

DEFINISI MALAM MENURUT AL QUR'AN


PENDAHULUAN
Penulis sudah membahas definisi malam menurut Al Qur’an dalam makalah berjudul ”Waktu dan Cara Shalat Menurut Al Qur’an”. Meskipun demikian, tidak ada salahnya untuk membahasnya sekali lagi dalam suatu makalah tersendiri. Definisi malam menurut Al Qur’an seharusnya bersifat unik atau hanya ada satu karena Al Qur’an hanya ada satu. Perbedaan definisi malam yang ada membuat penulis ingin menguji lagi persepsi penulis tentang definisi malam.

SIFAT MALAM
Gelap
Sifat malam yang sudah diketahui oleh semua orang sejak jaman dahulu adalah gelap. Dalam Al Qur’an, malam dijadikan Tanda kekuasaan Allah bagi manusia (36:37). Dijelaskan dalam ayat tersebut, siang ditarik dari malam. Maksudnya, siang berganti menjadi malam. Dan kemudian, yang terlihat adalah keadaan yang gelap. Pelajaran yang bisa diambil dalam konteks makalah ini adalah bahwa malam bersifat gelap.

36:37. And a Sign for them is the night. We withdraw from it the day. Then behold! They are in darkness. (Dan suatu Tanda bagi mereka adalah malam. Kami menarik darinya siang hari. Kemudian lihatlah! Mereka dalam kegelapan.) (versi Abdullah Yusuf Ali)

Berubah Secara Perlahan-lahan
Walaupun malam bersifat gelap, pendefinisian malam yang hanya menggunakan sifat gelap mempunyai masalah. Pada intensitas cahaya berapa lux suatu keadaan disebut gelap? Pertanyaan ini sulit dijawab karena intensitas cahaya matahari berubah secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Intensitas cahaya semakin meningkat seiring dengan peningkatan sudut yang dibentuk oleh permukaan bumi dan sumber cahaya. Pada posisi tepat di atas kepala, intensitas cahayanya paling besar. Hal ini menyebabkan keadaan pada pertengahan siang akan lebih terang daripada ketika matahari baru terbit atau menjelang matahari terbenam. Demikian pula, setelah matahari terbenam, keadaan akan terasa masih belum gelap sekali. Perlahan-lahan, keadaan tersebut akan berangsur-angsur menjadi gelap.

Perubahan intensitas cahaya yang bersifat perlahan-lahan ini akan menyulitkan kita untuk memisahkan keadaan gelap dan terang kecuali jika menggunakan kriteria buatan manusia. Mungkin, ada orang yang menganggap, hari telah gelap jika cahaya matahari telah hilang. Anggapan ini masih menimbulkan pertanyaan. Bukankah keadaan 1, 5, atau 10 menit sebelum cahaya matahari hilang masih terasa gelap? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dibutuhkan suatu batas intensitas cahaya yang ditentukan oleh manusia. Misalnya, jika intensitas cahaya kurang dari sekian lux, keadaan disebut gelap. Persoalannya, jika itu dilakukan, kita akan mempunyai definisi malam menurut manusia, bukan menurut Al Qur’an. Oleh sebab itu, penggunaan intensitas cahaya hasil pengukuran dengan lux meter atau alat ukur lainnya atau hasil perkiraan manusia tidak bisa digunakan untuk mendefinisikan gelap menurut Al Qur’an.

Meskipun demikian, mungkin ada yang berpendapat bahwa perubahan dari siang (yang bersifat terang) menjadi gelap bersifat tiba-tiba. Ayat pendukungnya adalah 36:37, terjemahan versi Othman Ali dan versi Depag RI. Dalam kedua versi terjemahan tersebut disebutkan tiba-tiba dan dengan serta merta yang bermakna secara drastis.

36:37. Dan satu ayat bagi mereka ialah malam; Kami menanggalkan siang darinya, dan tiba-tiba, mereka dalam kegelapan. (versi Othman Ali)

36:37. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. (versi Depag RI)

Terjemahan 36:37 versi Depag RI dan Othman Ali tersebut berbeda dengan versi Abdullah Yusuf Ali yang sudah dikutip di muka dan versi Muhamed dan Samira Ahmed.  Bagian yang diterjemahkan menjadi tiba-tiba atau dengan serta merta, oleh Muhamed dan Samira Ahmed diterjemahkan menjadi maka kemudian (so then), dan oleh Abdullah Yusuf Ali diterjemahkan menjadi kemudian lihatlah (then behold). Tambahan, N. J. Dawood menerjemahkan bagian itu menjadi –and (-dan). Jadi, penulis berpendapat bahwa perubahan dari terang menjadi gelap tidak terjadi secara tiba-tiba.

36:37 And an evidence/sign for them (is) the night, We skin off/uncover from it the daytime, so then they are darkened/in darkness. (versi Muhamed dan Samira Ahmed)

36:37 The night is another sign for them. From the night We lift the day-and they are plunged in darkeness. (versi N. J. Dawood)

Malam Masuk ke dalam Siang
Waktu dalam sehari dikelompokkan menjadi dua kelas utama, yaitu siang dan malam. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

Dijelaskan dalam 22:61; 57:6; 31:29; 3:27; dan 35:13 bahwa malam masuk ke dalam siang dan siang masuk ke dalam malam. Untuk menafsirkannya, kita fokuskan pada kata masuk. Kata masuk bermakna keadaan suatu benda berada di dalam benda yang lain. Dalam hal ini, siang yang masuk ke dalam malam akan menjadi berada di dalam malam, dan sebaliknya.

22:61. Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan bahwasanya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (versi Depag RI)

57:6. Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati. (versi Depag RI)

31:29. Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (versi Depag RI)

3:27. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)." (versi Depag RI)

35:13. Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. (versi Depag RI)

Diterangkan dalam 7:54 bahwa Allah menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. Ini berarti bahwa siang akan tertutup oleh malam. Dengan kalimat lain, siang menjadi tidak kelihatan. Oleh karena itu, ketika malam, siang tidak ada. Sampai di sini dapat dimengerti bahwa tidak ada waktu campuran siang dan malam atau waktu setengah siang setengah malam, atau waktu peralihan atau waktu pertengahan antara siang dan malam.

7:54. Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (versi Depag RI)

Allah menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat (7:54). Kalimat ini membutuhkan kehati-hatian dalam menafsirkannya karena dapat bermakna berbeda tergantung pada cara memenggal kalimatnya. Pertama, yang berlangsung dengan cepat adalah peristiwa malam menutup siang. Penggalannya adalah Allah ”menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.”. Kedua, yang berlangsung dengan cepat adalah peristiwa siang mengikuti malam. Penggalannya adalah Allah menutupkan malam kepada ”siang yang mengikutinya dengan cepat.”. Kita akan menguji yang kedua lebih dahulu. Seperti kita ketahui, setelah malam tiba, kita harus menunggu berjam-jam untuk menjumpai siang lagi. Ini berarti bahwa siang tidak mengikuti malam dengan cepat. Artinya, kemungkinan penafsiran kedua adalah salah. Dengan demikian, yang benar adalah penafsiran pertama, yaitu bahwa peristiwa penutupan malam kepada siang berlangsung cepat.

Peristiwa penutupan malam kepada siang yang berlangsung cepat berimplikasi bahwa di antara siang dan malam tidak ada waktu peralihan atau waktu di tengah atau waktu tumpang tindih (overlapping). Setelah siang ditarik, yang terjadi adalah malam (36:37). Begitu malam tiba, tidak ada waktu yang selainnya karena sudah tertutup malam. Begitu siang tiba, tidak ada waktu yang selainnya karena sudah tertutup siang. Ini juga berarti bahwa dalam suatu waktu hanya ada satu nama waktu, yaitu siang atau malam.

Sampai di sini dapat diringkas bahwa waktu dalam sehari dikelompokkan menjadi 2 kelas utama, yaitu siang dan malam. Dengan demikian, dalam satu waktu, hanya ada satu nama waktu, yaitu siang atau malam. Waktu siang mungkin dibagi lagi menjadi beberapa kelas yang lebih rendah tingkatannya, seperti pagi, tengah siang, dan sore. Waktu malam mungkin dibagi lagi menjadi beberapa kelas yang lebih rendah tingkatannya, seperti petang, tengah malam, dan fajar. Artinya, malam dan petang atau siang dan pagi adalah tidak satu tingkat dalam klasifikasi waktu dalam sehari.

DEFINISI MALAM
Kapan suatu keadaan disebut malam? Kali ini penulis akan menggunakan pendekatan waktu shalat dalam 17:78.

17:78. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (versi Depag RI)

Ada dua kata yang perlu dibahas lebih dahulu, yaitu tergelincir dan gelap. Kata tergelincir dalam konteks ayat 17:78 berarti mulai bergeser turun. Kata gelap tidak tepat karena sebagai kata benda bentuk seharusnya adalah kegelapan (darkness). Dalam terjemahan versi Abdullah Yusuf Ali, bagian yang diterjemahkan menjadi tergelincir tersebut diterjemahkan menjadi penurunan matahari (the decline of the sun). Penulis menganggap keduanya berarti sama. Kemudian, waktu shalat dari matahari bergeser turun sampai kegelapan malam adalah kisaran waktu yang orang dapat shalat di dalamnya. Artinya, itu tidak berarti bahwa orang harus shalat dengan durasi sejak matahari bergeser turun sampai kegelapan malam.

Ada yang menafsirkan bahwa matahari bergeser turun dimulai dari tengah hari atau meridian (matahari kurang lebih berada di atas kepala). Jika waktu shalat di mulai dari ketika matahari di atas kepala sampai kegelapan malam, waktu shalat tersebut akan terlalu panjang. Orang dapat shalat ketika matahari di atas kepala atau beberapa menit menjelang kegelapan malam tiba. Jika demikian, orang tidak perlu shalat lagi ketika hari sudah gelap jika sudah shalat pada pertengahan siang. Oleh karena itu, penafsiran semacam ini tidak tepat.

Selain itu, pengamatan posisi matahari berasumsi bahwa wajah pengamat menghadap ke satu arah tertentu. Pada saat wajah menghadap ke depan, mata tidak bisa melihat matahari ketika berada di atas kepala sehingga matahari tidak akan tampak turun. Jika wajah menghadap ke atas, matahari memang akan kelihatan tetapi tidak tampak menurun melainkan tampak seperti berjalan mendatar.

Matahari akan tampak menurun jika wajah mengahadap ke depan dan matahari sudah agak condong ke bawah. Akan tetapi, waktu ketika matahari mulai turun menjadi masalah karena waktu tersebut akan bervariasi tergantung pada penafsiran tiap orang. Waktu ketika matahari mulai turun yang bersifat unik dan tidak tergantung pada panafsiran orang adalah ketika bola matahari mulai menyentuh horison. Gerakan matahari sejak menyentuh horison sampai tidak kelihatan lagi benar-benar persis seperti benda yang sedang turun, yaitu turun dari atas ke bumi. Sebagai penunjuk waktu shalat, tanda alam berupa peristiwa bola matahari menyentuh horison adalah sangat jelas dan tidak menimbulkan penafsiran bervarisi. Oleh sebab itu, matahari tergelincir dalam 17:78  bermakna matahari terbenam atau tenggelam.

Tambahan, penurunan matahari adalah suatu peristiwa, bukan posisi matahari mulai turun. Artinya, yang dijadikan batas awal waktu shalat adalah suatu peristiwa, yaitu penurunan matahari. Sebagai batas waktu, peristiwa tersebut haruslah berlangsung relatif singkat sehingga batasnya menjadi jelas. Jika berlangsung lama, batas waktu tersebut akan bervariasi tergantung pada penafsiran masing-masing orang. Artinya, sepanjang ditentukan berdasarkan peristiwa penurunan matahari terjadi, hasil penafsiran batas waktu yang diperoleh akan menjadi dianggap benar. Semakin lama peristiwa tersebut, variasi penafsiran batas waktu semakin besar. Peristiwa penurunan matahari yang relatif singkat adalah ketika bola matahari mulai menyentuh horison sampai tidak kelihatan sama sekali. Oleh sebab itu, awal waktu shalat yang dijelaskan dalam 17:78 adalah ketika matahari terbenam, bukan ketika tengah hari (meridian).

Untuk lebih meyakinkan lagi, penggunaan akar kata dilakukan. Berikut ini adalah transliterasi 17:78 dan kutipan akar kata dalam project root list yang di-download dari http://www.studyquran.co.uk/PRLonline.htm.

017.078 Aqimi a(l)[ss]al[a]ta lidulooki a(l)shshamsi il[a] ghasaqi allayli waqur-[a]na alfajri inna qur-[a]na alfajri k[a]na mashhood[a](n)

Kutipan dari project root list :

د ل ك 
= Dal-Lam-Kaf = rubbing, squeezing, pressing, decline, sinking, become red, set, incline downwards from the meridian (sun). The whole phrase "duluk-as-shams" defined as "sunset" by Lane.
dalaka vb. (1) n.vb. 17:78
Lane's Lexicon, Volume 3, pages: 72, 73
Menurut kamus Lexicon, sebagaimana tertulis dalam kutipan di atas, dulooki a(l)shshamsi berarti matahari terbenam. Memang ada yang mengartikannya dengan turun dari meridian. Namun, yang berarti selain turun dari meridian lebih banyak, yaitu decline (turun), sinking (tengelam), become red (menjadi merah), dan terbenam (set). Arti yang lain seperti menggosok (rubbing), memeras (squeezing), dan menekan (pressing) kurang relevan dengan kasus ini. Jadi, ini mendukung penafsiran bahwa waktu shalat dimulai dari matahari terbenam.

Apa hubungan antara waktu shalat yang dimulai dari ketika matahari terbenam dengan definisi malam? Jawabannya ada dalam 11:114.

11:114. Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (versi Depag RI)

Disebutkan ada waktu shalat pada kedua tepi siang. Tepi bermakna bagian pinggir. Tepi siang berarti bagian pinggir siang. Jika siang digambarkan dalam bentuk garis, tepi siang akan berupa titik pada ujung panah garis pada gambar berikut ini.

tepi siang 1 <=====siang=====> tepi siang 2

Tepi berupa titik pada ujung garis siang dalam gambar di atas hanyalah sebuah model. Titik tersebut menggambarkan suatu waktu tertentu yang durasinya sangat pendek, yang dalam matematika diistilahkan dengan delta t mendekati nol. Oleh karena itu, penafsiran tepi siang sebagai waktu shalat tidak menggunakan pemikiran matematis seperti itu. Orang tidak bisa shalat dalam waktu yang sangat pendek, sependek titik dalam garis pada gambar di atas. Pengertian tepi perlu dijabarkan ke dalam pengertian dalam kehidupan sehari, seperti misalnya dalam istilah tepi jalan. Tepi jalan berkisar dari pinggir jalan (perbatasan antara badan jalan dan bukan jalan) sampai beberapa meter di bagian luar badan jalan. Di tepi jalan inilah orang dapat berjalan tanpa ditabrak oleh kendaraan yang berjalan di badan jalan.

Dengan cara berpikir yang sama, kita dapat mengartikan tepi siang sebagai waktu shalat. Tepi siang sebagai waktu shalat berkisar dari bagian pinggir siang (perbatasan antara siang dan bukan siang) sampai beberapa jam atau menit dari bagian pinggir siang. Kisaran salah satu tepi siang sebagai waktu shalat dijelaskan dalam 17:78.

17:78. Establish prayer at the decline of the sun till the darkness of the night and (the recital of) Quran at dawn. Indeed, the (the recital of) Quran at dawn is ever witnessed. (Dirikanlah shalat pada saat penurunan matahari hingga kegelapan malam dan (pembacaan) Al Qur’an pada waktu fajar. Sungguh, (pembacaan) Al Qur’an pada waktu fajar sesungguhnya disaksikan.) (versi Abdullah Yusuf Ali)

Sudah dibahas di muka bahwa pengertian penurunan matahari adalah sama dengan matahari terbenam. Di sini kita bisa menafsirkan bahwa waktu sejak matahari terbenam sampai kegelapan malam adalah salah satu tepi siang yang ditetapkan sebagai waktu shalat. Bagian pinggir siang adalah waktu ketika matahari terbenam. Kisaran waktu yang orang dapat melakukan shalat pada salah satu tepi siang yang ditetapkan dalam 17:78 adalah dari pinggir siang (waktu ketika matahari terbenam) sampai kegelapan malam (cahaya matahari tidak kelihatan lagi). Berdasarkan pemikiran seperti ini, definisi malam dapat dirumuskan.

Jika salah satu tepi siang adalah waktu ketika matahari terbenam, waktu sejak matahari terbenam adalah bukan siang. Sudah dibahas di depan bahwa waktu yang bukan siang adalah malam. Oleh karena itu, malam dimulai ketika matahari terbenam. Dengan pemikiran seperti ini, dapat disimpulkan bahwa penentuan siang dan malam ditentukan berdasarkan kenampakan matahari. Ketika matahari mulai tampak pada pagi hari, malam berakhir. Jadi, malam adalah waktu ketika matahari tidak tampak. Dengan kalimat lain, malam adalah waktu sejak matahari terbenam (mulai menyentuh horison) sampai matahari terbit (mulai keluar dari horison). Definisi inilah yang penulis setujui.

KEJANGGALAN DEFINISI MALAM VERSI LAIN
Ada yang mendefinisikan bahwa malam adalah waktu sejak matahari terbenam sampai terbit fajar. Definisi ini janggal karena menggunakan dasar klasifikasi ganda. Dalam penentuan permulaan malam digunakan dasar berupa kenampakan matahari sedangkan dalam penentuan akhir malam digunakan dasar berupa kenampakan cahaya matahari. Definisi ini tidak sesuai dengan Al Qur’an, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya dalam makalah ini.

Definisi malam yang lain menerangkan bahwa malam adalah waktu ketika hari sudah gelap. Menurut mereka, malam adalah gelap dan siang adalah terang. Mereka menganggap bahwa keadaan setelah matahari terbenam adalah masih terang atau belum gelap sehingga belum termasuk malam. Bagi mereka, malam adalah waktu ketika hari sudah benar-benar gelap. Oleh sebab itu, orang yang berbuka puasa Ramadhan sejak matahari terbenam dianggap bersalah oleh mereka karena berbuka terlalu awal.

Jika keadaan setelah matahari terbenam dianggap masih terang, berarti waktu itu masih dianggap termasuk siang karena siang bersifat terang. Seiring dengan perjalanan waktu, penurunan intensitas cahaya akan terjadi. Pada intensitas cahaya berapa lux keadaan masih dianggap terang? Jawabannya tidak ada di Al Qur’an. Demikian pula, pada intensitas cahaya berapa lux keadaan sudah dianggap gelap? Jawabannya tidak ada di Al Qur’an. Dengan demikian, anggapan siang masih berlanjut sampai satelah matahari terbenam menimbulkan masalah dalam menentukan waktu siang berakhir. Jika anggapan ini dipegang, orang akan menggunakan keinginan (nafsu) manusia sebagai dasar penentuan akhir siang atau awal malam.

Walapun demikian, di antara mereka ada yang percaya bahwa salah satu tepi siang yang disebut dalam 11:114 adalah waktu dari matahari terbenam sampai kegelapan malam seperti yang dijelaskan dalam 17:78. Sesuai dengan artinya, tepi siang adalah bagian paling pinggir atau paling luar dari siang sehingga dalam tepi siang tidak mengandung waktu yang termasuk siang. Jika mereka benar-benar meyakini bahwa tepi siang dimulai sejak matahari terbenam, mereka seharusnya meyakini bahwa sejak matahari terbenam, waktu siang telah berakhir karena waktu matahari terbenam menjadi bagian siang paling luar. Akan tetapi, mereka menganggap bahwa waktu ketika matahari terbenam adalah masih termasuk siang karena dianggap masih terang. Jadi, ada kejanggalan di sini. Sebaliknya, jika siang dianggap berakhir setelah keadaan dianggap gelap, misalnya beberapa menit setelah matahari terbenam, tepi siangnya menjadi mundur, yaitu dimulai dari waktu ketika matahari terbenam ditambah beberapa menit. Dengan demikian, definisi tepi siangnya menjadi tidak sesuai dengan yang diterangkan dalam 17:78. Atau, jangan-jangan malah waktu setelah terbenam matahari yang dikatakannya sebagai masih terang dianggap bukan siang? Jika demikian kasusnya, ini merupakan bentuk kejanggalan yang lain lagi.

Barangkali, jika saja mau meresapi bahwa suatu proses membutuhkan waktu, orang akan dengan mudah memahami bahwa malam dimulai sejak matahari terbenam. Memang benar bahwa malam bersifat gelap. Namun, sebelum menjadi gelap, malam harus melampaui tahap peralihan dari terang menjadi gelap. Ini berarti bahwa meskipun keadaan masih terlihat terang, dapat saja suatu waktu sudah termasuk malam. Keadaannya mungkin seperti proses perubahan dari bayi menjadi manusia dewasa. Seperti telah kita ketahui bahwa manusia mempunyai sifat dapat berbicara dan berjalan tegak dengan dua kaki. Walaupun demikian, bayi tetap dianggap sebagai manusia meskipun tidak dapat berbicara dan berjalan tegak dengan dua kaki.

PENUTUP
Penulis masih yakin bahwa malam adalah waktu sejak matahari terbenam sampai matahari terbit. Makalah ini akan direvisi jika terjadi perubahan persepsi pada diri penulis.